Agit Bambang Suswanto adalah pendiri dan owner Amble Footwear, sebuah merek dengan lini produk sepatu kulit dan apparel 100 persen asli Indonesia. Pria asli Bandung itu merintis usahanya sejak tahun 2009, ketika dia masih kuliah semester III jurusan manajemen di salah satu universitas swasta. Agit membuktikan, kuliah manajemen dapat menggeluti bisnis di sektor ekonomi kreatif. Agit, sapaan akrabnya, berkisah, ide jualan sepatu muncul ketika dia menerima uang saku dari beasiswa kuliah Rp 1,5 juta per bulan. Karena banyak kebutuhan, Agit segera memboyong uang itu ke Cibaduyut, yang dikenal sebagai pusat pembuatan sepatu di Bandung.
Di Cibaduyut, Agit memesan 13 pasang sepatu. Desainnya dia tentukan sendiri, mengingat Agit cinta sepatu kulit. Sayang, kecintaannya tak sampai jadi kolektor, lantaran merek sepatu luar negeri favoritnya sesuai Dockmart dan Clarks dibanderol dengan harga fantastis. "Saya kepikiran buat dapat bikin sendiri, develop (mengembangkan) sendiri, dan untuk dijual. Karena Bandung, kan, salah satunya punya sentra sepatu, kayaknya dapat dicoba untuk develop sepatu sendiri," cerita Agit saat dihubungi Kompas.com, Jumat (1/1/2021). Dulu, eksistensi media sosial sesuai Instagram dan Youtube tidak sepesat saat ini. Agit memilih forum Kaskus sebagai lapak dagang. Berhubung di forum itu belum banyak yang menjual sepatu berdesain premium dengan harga yang ramah kantong. Sekalipun ada, paling-paling hanya sepatu KW dan bekas. Harga yang ditawarkan mulai Rp 175.000 hingga Rp 275.000. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Belum tiga hari, sepatunya ludes terjual. Begitupun ketika dia menambah basis pelanggannya di kampus. Sepatu kulit buatannya disambut baik oleh teman-teman sepermainan dan kerabat.
Permintaan datang
Makin hari, sepatu Amble makin diminati. Tantangan Agit bukan lagi soal demand atau basis pelanggan, tapi inovasi dan kapasitas produksinya. Cibaduyut yang menjadi titik awal produksi, rasanya sudah tidak dapat diandalkan sepenuhnya. Sepahaman Agit, pengrajin di Cibaduyut kesulitan mengikuti sistem produksi yang terintegrasi. Agit yang ingin mengembangkan bisnis lebih besar tidak dapat lagi menggunakan cara-cara konvensional, sudah mesti biayanya lebih tinggi. Dia berpikir untuk merekrut beberapa orang dan membuat workshop hingga tahun 2015, sebelum akhirnya mengandalkan partner lain untuk meningkatkan produksi. Agit menyuplai hasil produksi ke beberapa retailer. "Dari situ sudah lumayan cukup jalan kapasitasnya, akhirnya di-handle tim lain yang mengandalkan partner," papar Agit.
Untuk meningkatkan permintaan, dia mengumpulkan testimoni dari para pelanggan. Testimoni itu disematkannya ke forum jual beli agar orang-orang yakin bahwa Amble adalah penjual tepercaya. Dia juga mengandalkan jejaring Twitter.
Bukan cuma testimoni, Agit nampaknya begitu perfeksionis jika soal foto produk. Meski lulusan manajemen, dia belajar banyak dari temannya yang notabene mahasiswa jurusan desain komunikasi visual dan fotografer. Kemudian, ditawarkannya sepatu-sepatu itu 25 persen lebih murah 75 persen dari merek luar negeri. Dengan desain yang ciamik tentunya. Desain sepatu kulit yang terkesan monoton dan "kebapak-bapakan", diubah jadi senyaman sneaker. "Ini cukup direspons dengan baik. Kita juga memberi garansi, bagaimana caranya orang kalau beli sepatu di Amble rasanya kayak beli sepatu di toko," tuturnya. Garansi itu dapat dimanfaatkan pelanggan bila ukuran sepatu kekecilan atau terlampau besar, selama stok masih ada. Jikapun habis, pelanggan harus bersedia menunggu.
Manfaatkan teknologi
Sejak awal, Agit paham betul pentingnya teknologi bagi pengembangan bisnis. Mulai dari Google Ads, Google Display Network, hingga pembuatan website dipelajarinya secara otodidak. Agit juga belajar banyak dari teman-temannya. Strategi yang mengarah ke digital ini membuat Amble Footwear tak memperbanyak toko fisik. Agit mengaku, Amble hanya memiliki satu toko fisik di Bandung. Sisanya dia jual melalui website dan platform belanja online (e-commerce). Di manajemen rantai pasok (supply chain management), Agit menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan logistik, JNE. Untuk membuat gudang sepatu sendiri, Agit memperkirakan butuh lahan sekitar 1.000 meter persegi. "Gudang dan logistiknya Amble sudah dihandle JNE. Kalau seharusnya bangun warehouse, (mungkin) sekitar 1.000 m2. Tapi sekarang dihandle (JNE), mulai dari penerimaan vendor pabrik sampai pengiriman ke customer (pelanggan)," ungkap Agit.
Bertahan saat pandemi
Punya jiwa gigih, pandemi Covid-19 bukan menjadi ungkapan Amble berhenti bergerak. Agit dengan cepat beralih produksi membuat masker dari bahan sepatu yang masih ada. Dengan begitu, pemasukan tetap ada meski orang-orang menahan diri untuk membeli sepatu. Kini, dia sudah memiliki sekitar 25 orang karyawan. Sepatu buatannya pun sudah diekspor ke Malaysia hingga negara-negara di Benua Eropa. Dalam sebulan, Amble Footwear dapat menjual 1.000 hingga 2.000 sepatu yang dijual dengan harga bervariasi. Sepatu wanita dibanderol Rp 250.000 - Rp 550.000, sedangkan sepatu pria seharga Rp 299.000 - Rp 599.000. "Kalau dibilang di awal di 3 bulan pertama (sejak pandemi Cobvid-19) penjualan (sempat) turun. Tapi setelah shifting (membuat masker) mulai menanjak, dan sekarang sudah stabil," pungkasnya.
Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting, topik menarik, dan informasi lainnya
Aktifkan
Belum berhasil mengaktifkan notifikasi Kompas.com? Klik di sini
(KOM)