Pemerintah secara resmi melarang aktivitas mudik untuk satu kawasan aglomerasi (mudik lokal). Ini setelah pemerintah khawatir dengan adanya lonjakan kasus Covid-19.
Anggota tim pakar Satgas Penanganan Covid-19 Nasional Alphieza Syam, menjelaskan bahwa pemerintah belajar dari kasus India dan beberapa negara lain yang perkembangan kasus Covid-19 sempat landai akan tetapi akhirnya dikejutkan dengan terjadinya gelombang kedua dan ketiga.
"Kami juga dipesani oleh pimpinan kami kalau ada daerah yang cukup berhasil dan dapat hingga warna hijau tolong jangan euforia dulu karena Covid-19 itu tidak kelihatan. Kewaspadaan, 3M, prokes harus tetap diterapkan meski vaksin sudah ada," kata Syam dikutip dari Antara, Minggu (9/5/2021).
Sementara itu, pihaknya tidak memungkiri mudik merupakan peristiwa yang ditunggu oleh masyarakat bahkan sudah menjadi bagian dari kearifan lokal.
"Meski ini jadi bagian dari budaya tetapi memang harus disikapi dengan bijak, apalagi kalau mudik berisiko menularkan Covid-19," kata dia.
Oleh karena itu, pihaknya tidak hanya meniadakan mudik jarak jauh tetapi juga lokal atau aglomerasi.
"Intinya mungkin mudik tidak seberapa jauh, asal ada mobilisasi itu berpotensi (terpapar Covid-19). Larangan mudik ini mudah-mudahan dapat efektif untuk menekan penambahan kasus," kata Syam.
Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nasional menyatakan larangan mudik untuk mengantisipasi lonjakan kasus setelah libur yang beberapa kali terjadi pada tahun 2020.
"Di tahun 2020 ada beberapa kali liburan yang selalu diikuti oleh penambahan kasus dua pekan atau tiga pekan kemudian," kata Syam.
Belajar dari kondisi tersebut, dikatakannya, Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Nasional mengeluarkan Adendum Surat Edaran (SE) Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran COVID-19 Selama Bulan Suci Ramadan 1442 Hijriah.
Sebelumnya, timbul kesimpang-siuran mengenai boleh tidaknya mudik lokal, karena pemerintah masih mengizinkan moda transportasi di wilayah aglomerasi beroperasi.
Beda mudik lokal dan bepergian
Satgas Penanganan Covid-19 dan Kementerian Perhubungan menyatakan, sejak awal kebijakan yang diambil pemerintah adalah peniadaan mudik yang berlaku pada 6-17 Mei 2021.
Sedangkan moda transportasi di wilayah aglomerasi diizinkan beroperasi, akan tetapi terbatas pada kegiatan esensial harian sesuai bekerja, keperluan medis, logistik, dan sebagainya.
Adapun aktivitas mudik di wilayah aglomerasi tetap dilarang, dan kegiatan yang berpotensi menimbulkan kerumunan harus dihindari.
Sebagai ilustrasi larangan mudik lokal, warga asal Kabupaten Wonogiri yang menetap di Kota Surakarta dilarang melakukan mudik. Namun jika tujuannya adalah bekerja, bekerja di Surakarta akan tetapi bertempat tinggal di Wonogiri, hal itu masih diperbolehkan.
Hal yang sama juga berlaku untuk kawasan Jabodetabek. Misalnya seorang warga Bogor yang menetap di Jakarta dilarang mudik ke kampung halamannya di Bogor. Namun tetap dapat bolak-balik Jakarta-Bogor jika tujuannya hanya untuk bekerja, tentunya setelah mengantongi SIKM.
Dikutip dari Surat Edaran Nomor 13 Tahun 2021, mudik adalah kegiatan perjalanan pulang ke kampung halaman selama bulan Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengungkapkan, kebijakan peniadaan mudik 6-17 Mei 2021 berlaku menyeluruh demi menghentikan terjadinya mobilitas masyarakat yang dapat menjadi pemicu penularan Covid-19.
"Kebijakan ini diterbitkan atas ungkapan potensi silaturahmi dengan kontak fisik yang terjadi saat bertemu, yang berpotensi menimbulkan peningkatan peluang transmisi dalam keluarga," kata Wiku dalam siaran pers.
Sementara itu Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengungkapkan, larangan mudik Lebaran di wilayah aglomerasi bukan berarti aktivitas transportasi juga dilarang, dan untuk itu tidak akan dilakukan penyekatan.
"Pemerintah sudah tegas menyatakan kegiatan mudik dilarang. Di wilayah aglomerasi pun mudik dilarang, yang diperbolehkan adalah aktivitas yang esensial, dan transportasi masih akan melayani masyarakat di kawasan ini dengan pembatasan," kata Adita.
"Baik itu transportasi darat berupa angkutan jalan juga kereta api, akan tetap melayani masyarakat dengan pembatasan jam operasional, frekuensi dan jumlah armada. Di samping itu akan diperketat pula pengawasan terhadap protokol kesehatan," katanya melanjutkan.
Beberapa waktu lalu, pemerintah sendiri merilis daftar 8 kawasan yang masuk sebagai kawasan aglomerasi.
Merujuk pada Pasal 4 Permenhub Nomor 13 Tahun 2021, berikut 8 daerah yang masuk kawasan aglomerasi:
Medan, Binjai, Deli, Serdang, dan Karo (Mebidangro)
Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek)
Bandung Raya
Kendal, Demak, Ungaran, Salatiga, Semarang, dan Purwodadi (Kedungsepur)
Solo Raya
Jogja Raya
Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan (Gerbangkertosusilo)
Makassar, Sungguminasa, Takalar, Maros (Maminasata).
"Pengaturan penggunaan dan pengoperasian sarana transportasi darat pada kawasan perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan berdasarkan ketentuan jumlah operasional sarana dan memperhatikan penyediaan bagi operasional sarana untuk kepentingan mendesak dan nonmudik," bunyi Pasal 5.
Aktifkan Notifikasimu
Aktifkan
Blogspot Auto Post Indonesia => https://malasnulis.my.id
Cara Menulis Artikel Otomatis di Blogger
(KOM)(MLS)