Indonesia adalah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China. Ini wajar, mengingat kedelai jadi bahan baku bagi tempe dan tahu, dua makanan yang sangat lazim disantap masyarakat Tanah Air.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 hingga 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar AS atau sekitar Rp 7,52 triliun (kurs Rp 14.700). Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS.
Data Gabungan Asosiasi Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (Gakoptindo), selain dari Amerika Serikat (AS), kedelai yang dipasok untuk para pengusaha tahu dan tempe didatangkan dari Kanada, Brasil, dan Uruguai.
Dikutip dari Harian Kompas, selama kurun sepuluh tahun terakhir, volume kedelai impor hingga 2-7 kali lipat produksi kedelai lokal, sebagian besar berasal dari Amerika Serikat.
Selain problem produktivitas, faktor harga jual di tingkat petani dinilai berpengaruh besar terhadap pengembangan kedelai lokal. Oleh karena dianggap tidak menguntungkan, petani memilih menanam komoditas lain.
Oleh karena itu, selain memacu produktivitas, kebijakan di hilir mesti sejalan agar budidaya kedelai makin ekonomis.
Perajin tahu tempe mogok
Pusat Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta memastikan para perajin tahu-tempe telah menjalani mogok produksi sejak malam tahun baru atau 1-3 Januari 2021.
Hal tersebut sebagai respons perajin terhadapnya melonjaknya harga kedelai sebagai bahan baku tempe-tahu, dari Rp 7.200 per kilogram menjadi Rp 9.200 per kilogram.
"Perajin tempe-tahu alhamdulillah kompak untuk kebersamaan dan waktu mogok kompak selama 3 hari," ujar Sekretaris Puskopti DKI Jakarta Handoko Mulyo kepada Kompas.com, Minggu (3/1/2021).
Menurutnya, Puskopti DKI Jakarta telah mengajukan tiga tuntutan para perajin tahu-tempe kepada pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Pertama, meminta agar tata niaga kedelai di pegang pemerintah agar dapat menjaga stabilitas harga, sehingga memberikan kenyamanan bagi para pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) tahu-tempe yang jumlahnya sangat besar.
Ini karena gejolak harga kedelai malah akan menyulitkan para produsen tahu-tempe, serta dapat membebani keuntungan pedagang.
Kedua, meminta pemerintah agar merealisasikan program swasembada kedelai yang sudah dicanangkan sejak 2006. Hal ini untuk mengurangi ketergantungan industri tahu-tempe dalam negeri dari kedelai impor.
Hal tersebut dapat saja diatasi dengan produksi tahu menggunakan kedelai dalam negeri, dan produksi tempe menggunakan kedelai impor. Tentunya pengaturan penggunaan kedelai hanya dapat diatur pemerintah
"Swasembada kedelai bukan berarti kita anti-impor, tetapi untuk menyeimbangkan," kata Handoko.
Ketiga, meminta pemerintah untuk segera mengevaluasi hasil produksi kedelai lokal, yang selama ini data statistik menunjukkan produksi kedelai lokal rata-rata hingga 800.000-900.000 ton. Angka produksi itu disebut sangat jauh dari kebutuhan kedelai dalam negeri.
"Analisa kami, jumlah produksi kedelai lokal jauh api dari panggang," ujar dia.
Masalah klasik
Diberitakan Harian Kompas, 3 Februari 2014, kedelai impor sempat jadi polemik lantaran harga dari importir melambung tinggi.
Saat itu, para perajin kedelai juga sempat menjalani aksi mogok produksi dan menuntut pemerintah segera menyelesaikan tingginya harga kedelai impor asal Amerika Serikat.
Bahkan, Gabungan Koperasi Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) menyebut penyebab melonjaknya harga kedelai impor karena permainan kartel.
Ketua Umum Gakoptindo Aip Syaifudin mengatakan, kedelai impor yang dibeli adalah kedelai kualitas pertama dengan harga sampai gudang kedelai Bulog Rp 8.200 per kilogram.
”Kami jual kepada para perajin tempe per kilogram Rp 8.300,” ucap dia saat itu. Menurut dia, sebelum ini para perajin tempe membeli kedelai impor kualitas kedua dengan harga yang lebih tinggi dari para importir nasional.
”Kalau dengan kedelai impor kualitas dua para perajin hanya dapat menghasilkan tempe 1,5 potong per kilogram kedelai, maka dengan kedelai impor kualitas pertama dapat dihasilkan 1,7 potong tempe per kilogram kedelai," ungkap dia.
(Sumber: KOMPAS.com/Yohana Artha Uly | Editor: Bambang P. Jatmiko)
Aktifkan Notifikasimu
Jadilah yang pertama menerima update berita penting, topik menarik, dan informasi lainnya
Aktifkan
Belum berhasil mengaktifkan notifikasi Kompas.com? Klik di sini
0 komentar:
Posting Komentar