Informasi Seputar Bisnis Indonesia

Minggu, 04 Oktober 2020

Lagi Viral, Buruh Dibayar Lebih Rendah di RUU Cipta Kerja? Simak Penjelasannya

Lagi Viral, Buruh Dibayar Lebih Rendah di RUU Cipta Kerja? Simak Penjelasannya

Rancangan Undang-undang atau RUU Cipta Kerja kini tinggal menunggu pengesahan di Paripurna DPR. Seluruh fraksi di DPR, kecuali PKS dan Demokrat, sudah setuju untuk meloloskan RUU paket omnibus law tersebut.

Salah satu poin yang ditolak serikat buruh yakni pasal RUU Cipta Kerja yang akan menghilangkan ketentuan terkait upah minimum sektoral. Penerapan upah sektoral selama ini dilakukan lewat penetapan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dan Upah Sektoral (UMSK).

Dengan dihapuskannya UMK, maka otomatis skema upah minimum akan menggunakan standar Upah Minimum Provinsi (UMP).

Sebagai informasi, dalam aturan skema upah minimum yang diatur dalam Pasal 88 dan Pasal 89 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, upah minimum terdiri dari UMK dan UMP.

Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.

Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH. KHL saat ini berlaku 60 item, sementara yang diusulkan oleh serikat buruh hingga 78 item komponen.

Dijelaskan lebih lanjut di Pasal 90 UU Nomor 13 Tahun 2003, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan.

Sementara itu dalam RUU Cipta Kerja Omnibus Law BAB IV Ketenagakerjaan Bagian 2, disebutkan bahwa di antara pasal 88 dan pasal 89 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, disisipkan tujuh pasal yakni pasal 88A sampai 88G.

"Berdasarkan hasil keputusan tripartit, menyepakati upah minimum padat karya dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja, saya ingin menegaskan ini kabar baik dan harapan bagi pekerja dan serikat pekerja," jelas Ketua Baleg DPR RI Supraptman dalam keterangan resminya sesuai dikutip pada Senin (5/10/2020).

Upah lebih rendah dengan UMP

Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar Cahyono, mengungkapkan terdapat pasal yang dinilai dapat merugikan buruh/pekerja. Pertama, pasal 88C. Kahar menilai bunyi pasal itu berarti menghilangkan upah minimum sektoral kabupaten/kota.

Artinya, buruh yang saat ini upahnya mengacu upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK) atau upah minimum kabupaten/kota (UMK) akan dirugikan.

"Pasal 88 C. Upah Minimum hanya UMP gitu? Tidak ada UMSK," kata Kahar dikutip dari Kontan.

Sebagai perbandingan, UMK 2020 di Kabupaten Karawang Rp 4.594.324, Kota Bekasi Rp 4.589.708, Kabupaten Bekasi Rp. 4.498.961, dan Kota Depok Rp 4.202.105.

Kemudian pasal 88D ayat (1), disebutkan formula kenaikan upah minimum hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi. Artinya, penetapan formula ini lebih buruk daripada penetapan kenaikan upah minimum berdasarkan PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.

"Lah terus formula kenaikan cuma dikali ke Pertumbuhan Ekonomi? (Ini) Lebih buruk dari PP 78, yang kenaikannya berdasarkan inflansi dan pertumbuhan ekonomi," kata Kahar. Sebagai contoh, kenaikan UMP/UMK 2020 adalah 8,51 persen.

Berdasarkan Surat Kepala BPS Nomor B-246/BPS/1000/10/2019 Tanggal 2 Oktober 2019, inflasi pada tahun 2019 sebesar 3,39 persen, dan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,12 persen.

"Kalau hanya pertumbuhan ekonomi, berarti naiknya hanya 5,12 persen," ungkap dia.

Sebagai informasi, berikut bunyi Pasal 88C yang akan ditambahkan ke dalam UU nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dalam RUU omnibus law cipta kerja.

Pasal 88C

(1) Gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.

(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan upah minimum provinsi.

Kemudian pasal 88D

Pasal 88D

(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (2) dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum sebagai berikut:UMt+1 = UMt + (UMt x %PEt).

"Sedangkan UMP Jawa Barat hanya Rp 1,81 juta," ucap dia.

Beda UMR, UMK, dan UMP

Dalam penetapan pengupahan di Indonesia, ada sejumlah skema yang biasa diterapkan. Pemilihan skema ini yang kemudian memengaruhi besaran upah yang diterima pekerja dari pengusaha.

Besarannya juga sangat tergantung dari masing-masing daerah yang umumnya menyesuaikan dengan harga kebutuhan pokok, tingkat inflasi, standar kelayakan hidup, dan variabel lainnya.

Upah minimum yang dibayarkan pengusaha kepada pekerja ini umumnya ditetapkan setiap tahun sekali. Kenaikan upah minimum dibahas bersama antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja atau lebih dikenal dengan tripartit.

Dalam skema pengupahan, orang mengenal Upah Minimum Regional (UMR). Meski sering jadi pakem dalam penyebutan upah, skema pengupahan dengan model UMR sebenarnya sudah tak lagi digunakan.

Penerapan UMR diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 1 Tahun 1999. Aturan ini kemudian direvisi lewat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000, sehingga secara tidak langsung UMR kini sebenarnya sudah tak berlaku lagi.

Dalam regulasi lawas itu, dijelaskan bahwa UMR merupakan upah minimum yang penetapannya dilakukan oleh gubernur yang menjadi acuan pendapatan buruh di wilayahnya.

Dalam proses penetapannya, tim yang disebut Dewan Pengupahan menjalani survei kebutuhan hidup pekerja dari kebutuhan pangan, sandang, hingga rumah yang kemudian diperoleh angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Istilah UMR kemudian digantikan dengan UMP dan UMK. Meski dalam praktiknya tak lagi digunakan, UMR masih sering digunakan dalam penyebutan upah minumum, bahkan oleh sebagian orang lebih sering menyebut UMR ketimbang menggunakan UMP dan UMK.

Melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 226 Tahun 2000, UMR Tingkat I diubah menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP). Sementara, UMR Tingkat II diubah menjadi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).

Artinya sebelum penggunaan istilah UMP dan UMK, semua penyebutan upah minimum menggunakan UMR, baik Tingkat I juga Tingkat II. UMP merupakan perubahan nama dari UMR Tingkat I yang penetapannya oleh gubernur.

Sementara, UMK yang tak lain dulunya disebut UMR Tingkat II ini merupakan standar upah minimum yang berlaku di daerah tingkat kabupaten/kota, meski penetapannya tetap dilakukan oleh gubernur meski pembahasannya diusulkan oleh bupati atau wali kota.

Jika pada suatu kabupaten/kota belum dapat mengusulkan angka UMK, maka gubernur menjadikan UMP sebagai acuan untuk pemberian upah di kabupaten/kota tersebut.

Selain UMK dan UMP, ada dua istilah lain dalam aturan pengupahan. Pertama, Upah Minimum Sektoral (UMS) Provinsi, sebelumnya bernama Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I.

Adapun, di tingkat kabupaten/kota, dikenal dengan Upah Minumum Sektoral (UMS) Kabupaten/Kota. Sebelumnya, sebelumnya menggunakan istilah Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I.

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting, topik menarik, dan informasi lainnya

Aktifkan

Belum berhasil mengaktifkan notifikasi Kompas.com? Klik di sini

Share:

0 komentar:

Advertisement

BTemplates.com

Blog Archive