Pemerintah mengatur ketentuan mengenai kapal asing yang beroperasi di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dalam UU omnibus law Cipta Kerja yang disahkan DPR pada Senin (5/10/2020).Dalam Pasal 27 ayat (2) klaster Kelautan dan Perikanan UU Cipta Kerja, setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk menjalani penangkapan ikan di ZEEI wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah. Selanjutnya, di antara pasal 26 dan pasal 27 disisipkan 1 pasal, yakni pasal 27A. Pasal 27A ayat (3) menyebut, setiap orang yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membekali dokumen perizinan berusaha, dikenai sanksi administratif.
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo mengatakan, pihaknya tak mengizinkan kapal asing beroperasi di Indonesia. Dia menerangkan, kapal-kapal itu adalah kapal yang dimiliki oleh orang Indonesia. Banyak kapal bekas asing yang dibeli rakyat Indonesia. Di era menteri sebelum-sebelumnya, pembuatan kapal di luar negeri pun diizinkan. Namun begitu menteri berganti, peraturan mengenai pembuatan kapal di luar negeri pun berubah. "Bukan kapal asing. Maaf ya, bukan kapal asing. Bukan kapal asing. Kapal itu adalah kapal yang sudah dimiliki orang Indonesia, akan kami perbolehkan. Enggak ada kapal asing ke Indonesia," kata Edhy saat dihubungi Kompas.com, Kamis (8/10/2020).Dengan begitu, ketentuan mengenai sanksi administratif ini mampu memberikan efek jera. Menurutnya, sanksi yang diberikan tetap keras. "Jadi sanksi tetap harus keras. Yang enggak boleh, (menaikkan) nelayan di tengah laut. Ya (izin usahanya) saya cabut. Mudah mencabut (izin usaha) itu," sebut Edhy.Sebelum sanksi diberikan, Edhy mengaku pihaknya akan selektif dari awal, sejak pemberian izin berusaha diberikan.
Investor di sisi hilir sektor kelautan dan perikanan harus memenuhi syarat-syarat dan kewajiban, salah satunya mengenai kapal-kapal yang beroperasi di ZEEI adalah kapal Indonesia dengan awak kapal Indonesia.
"Tapi yang jelas, saya minta semuanya harus nelayannya Indonesia. Dan ini sudah banyak beberapa negara yang setuju, cuma karena Covid-19 (kesepakatan) berhenti (belum dilanjutkan kembali)," papar Edhy. Dalam perjalanannya, kata Edhy, mungkin ada beberapa investor yang meminta diizinkannya beberapa orang asing untuk mengoperasikan kapal dengan ungkapan tak semua dapat mengoperasikan kapal tersebut. Edhy bilang, pihaknya akan mengkaji secara hati-hati sebelum mengizinkan."Itu akan kita lihat. Tapi sebelum ke arah sana, kita pastikan dulu di awalnya. Kalau dari awal mereka enggak sepakat, ngapain kita ajak (kerja sama). Karena potensi untuk mencurinya besar. Karena pengawasan saja tidak cukup, kita harus mulai dari hubungan kedua belah pihak," jelasnya. Cara-cara tersebut dilakukan untuk menumbuhkan lapangan pekerjaan baru di sektor kelautan dan perikanan. Sebab di era sebelumnya, banyak industri yang mati karena perizinan mengoperasikan kapal dipersulit. Dia bahkan menaksir, investasi senilai Rp 300 triliun tidak berjalan. "Saya lagi coba merinci ulang, tapi yang jelas saya berani taruhan, saya sangat yakin di atas Rp 300 triliun tidak optimal jalan karena kekurangan bahan baku. Saya hanya fokus ini," pungkasnya.
Menghindari kriminalisasi
Plt Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP, Muhammad Zaini menambahkan, sanksi administratif tersebut diberikan untuk kapal-kapal yang sudah memiliki izin, akan tetapi tidak terbawa atau rusak. Adapun ketentuan mengenai sanksi administratif ini selanjutnya akan diatur oleh peraturan turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah (PP), baik itu mengenai kriteria, jenis, dan tata cara pengenaan sanksi administratif. "Hal tersebut untuk melindungi agar nelayan yang sudah punya izin tidak dikriminalisasi. Tetap klo dia (kapal tersebut) tidak memiliki izin dan menjalani penangkapan ikan (secara ilegal), itu sanksinya pidana," pungkas Zaini.
0 komentar:
Posting Komentar